Senin, 03 Juni 2013

Politik Devide et Impera

Apakah ini sebuah nasib atau kebodohan bangsa ini, bangsa Indonesia…? Bangsa yang disebut-sebut sebagai salah satu bangsa besar di dunia. Begitu mudahnya bangsa besar ini dipecah belah atau diadu domba. Apakah kita tidak pernah mengambil pelajaran dari sejarah, bahwa selama 350 tahun bangsa kita dijajah Belanda karena hal ini? Kita terpecah belah dan di pecah belah dengan politik yang bangsa Belanda menyebutnya devide et impera.
Devide et impera merupakan politik pecah belah atau disebut juga dengan adu domba adalah kombinasi strategi politikmiliter, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
Di layar kaca televisi maupun media cetak, hampir setiap hari kita disuguhi berita-berita tentang perseteruan antar kelompok untuk memperebutkan kekuasaan, saling menuding, bahkan saling sikut dengan intrik-intrik politik yang mendekati kata “kejam”. Dan mirisnya, hal itu dilakukan oleh sesama anak bangsa, bangsa Indonesia. Inilah yang menjadi kelemahan kita sebagai bangsa yang mengaku berpendidikan tapi mampu diceraiberaikan keadaan. Bangsa yang mengaku berkembang dengan jumlah penduduk yang mayoritas miskin, dan tanpa jaminan kesehatan.
Sejarah mencatat, kedatangan armada Belanda kali pertama mendarat di Nusantara, tahun 1596, tepatnya di Pelabuhan Banten, dengan tujuan berdagang yang dipimpin Cornelis de Hautman. Namun pada saat itu Belanda gagal mendapatkan izin dagang. Belanda baru resmi mulai berdagang di Batavia tahun 1602, ditandai dengan berdirinya kantor pusat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda di Batavia.
Cerita VOC kemudian berkembang menjadi upaya penjajahan terhadap bangsa Indonesia. Caranya, meneer-meneer Belanda menggandeng beberapa pribumi untuk menjadi karyawan mereka dan mengkhianati bangsanya sendiri. Raja di satu kerajaan diadu domba dengan raja lain yang pada akhirnya menimbulkan peperangan dan perpecahan bangsa ini.
Terdapat satu komunitas yang terus menerus berjuang untuk mempertahankan kedaulatannya, sementara di sisi lain berbaris komunitas yang sedang asyik menikmati rejeki hasil pengkhianatan. Lucunya, dengan enteng kita mengatakan semuanya akibat politik devide et impera. Selalu orang lain yang disalahkan dan bukan mengapa kita bisa diadu domba? Kata persatuan yang tergantung manis di kaki burung garuda yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika seakan terlupakan.
Kini devide et impera menjamah ranah olahraga Indonesia. Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) terpecah menjadi dua kubu. Polemik di tubuh PSSI menjadi santapan rutin beberapa hari ini, baik di media cetak maupun elektronika. Kubu PSSI yang dikomandani Djohar Arifin Husin terus mendapatkan perlawanan dari La Nyalla Mahmud Matalitti dan kawan-kawan yang notabene juga merupakan bagian dari PSSI. Ada kubu Liga Primer Indonesia (LPI) dan Liga Super Indonesia (LSI). Devide et impera….!!!
Bahkan politik pecah belah ini juga sudah mewabah di sejumlah klub sepakbola. Tengoklah bagaimana Persebaya Surabaya, PSMS Medan, Persija Jakarta terbelah menjadi dua kubu. Arema Malang lebih miris lagi, klub kebanggaan warga Malang berlogo kepala singa ini tercabik menjadi tiga kubu dan semua kubu mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar.
Ketika negara lain sibuk membangung negaranya, kita malah sibuk bertikai, dan mirisnya dengan bangsa kita sendiri. Sangat mungkin dan pasti ada orang-orang tertentu yang ‘bermain’ dan memiliki kepentingan dalam usaha memecah belah PSSI. Kita tahu siapa mereka-mereka yang berada di belakang pertikaian ini. Mereka sengaja mengadu domba beberapa kelompok untuk meraih kepentingan dan keinginan mereka. Tahun 2014 tinggal beberapa saat lagi. Bisa jadi, politik pecah belah sengaja dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk menggenggam tiket menuju gedung DPR atau bahkan kursi presiden yang akan ditinggalkan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sempat terbesit sebuah pemikiran, “Sampai kapan bangsa Indonesia bisa cerdas untuk tidak mudah dipecah belah. Apakah pengalaman dijajah dan diadu domba Belanda tidak cukup untuk dijadikan pelajaran…?” Mudah-mudahan kita segera sadar dan tidak terjebak dalam devide et impera gaya baru ini. *ROSSI RAHARDJO

0 komentar:

Posting Komentar